Kamis, 09 Januari 2014

Fenomena Tahun Baru


  • Bila kita mengamati secara seksama realitas yang ada menjelang berakhirnya setiap tahun Masehi, maka akan kita dapatkan seakan Rasulullah Saw., berbicara tentang kondisi kontemporer saat ini. Betapa tidak, hampir mayoritas umat ini merayakan datangnya Tahun Baru Masehi tersebut persis dengan apa yang dilakukan oleh pemilik Hari Besa...r tersebut, yaitu kaum Yahudi. Anehnya, hal ini banyak juga dirayakan oleh kalangan Nashrani.

    Dari Abu Sa’id al-Khudry bahwasanya Nabi Saw., bersabda, “Sungguh kalian akan mengikuti sunnah (tata-cara) orang-orang sebelum kamu, sejengkal-demi sejengkal, sehasta demi sehasta, hingga andaikata mereka masuk lubang semutpun, niscaya kalian akan memasukinya juga”. Para shahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah (mereka itu) orang-orang Yahudi dan Nashrani?”. Beliau bersabda: “Siapa lagi (kalau bukan mereka)”. (Hr. Al-Bukhari)

    Perayaan yang berisi hura-hura, kemaksiatan dan pemubaziran dilakukan di hampir seluruh pelosok negeri, tidak oleh kalangan muda-mudi saja tetapi juga oleh orang-orang tua. Pada tengah malam menjelang pergantian tahun; berpesta pora, lelap dalam gegap-gempita serta suara hiruk-pikuk musik yang menggila. Beramai-ramai dalam suasana sesak, saling himpit dan bergaya dengan berbagai mode yang ada.

    Bila melihat nama, sepertinya memperingati dan merayakan Tahun Baru Masehi identik dengan tahunnya orang-orang Nashrani saja. Tetapi sebenarnya, perayaan Tahun Baru tersebut merupakan bagian dari aktifitas ritual agama Yahudi dan Majusi (yang disebut dengan an-Nayrûz). Oleh karena itu, merekalah yang sebenarnya memiliki misi merayakan dan memeriahkannya bukan kaum Nashrani apalagi kaum Muslimin.

    Dalam Islam, hanya dikenal tiga Hari Besar (’Ied) yang memang disyariatkan untuk dirayakan dan dimeriahkan; dua bersifat tahunan, yaitu ‘Iedul Fithri dan ‘Iedul Adlha yang belum lama ini kita lalui. Satu lagi, bersifat pekanan, yaitu Hari Jum’at. Selain tiga Hari Besar ini, tidak dikenal peringatan dan perayaan hari besar lainnya, apalagi bila perayaan itu identik dengan agama selain Islam.

    Yang menjadi masalah kemudian adalah keterlibatan sebagian besar dari umat Islam di dalamnya; Kenapa mereka ikut merayakan dan memeriahkannya juga? Tidak tahukah bahwa perayaan itu khusus untuk non Muslim, khususnya, kaum Yahudi dan Majusi? Tahukah bahwa hal ini bertentangan dengan ajaran agama?

    Tentu kita amat prihatin dengan nasib umat yang semakin lama semakin terkikis ‘aqidahnya, sedikit-demi sedikit sebagaimana yang disinyalir di dalam hadits Nabi di atas.

    Setidaknya ada dua faktor besar yang menyebabkan terjadinya hal tersebut: pertama, kurangnya ilmu sebagian besar umat Islam akan ajarannya. Kedua, Kurangnya kontrol para ulama, khususnya penekanan terhadap sisi ‘aqidah.

    Proses pembelajaran selama ini hanya bertumpu kepada acara-acara ceremonial. Rujukan-rujukan yang digunakan dari sisi materi kurang memberikan tekanan kepada pemurnian ‘aqidah dari syirik dan penyakit TBC (Takhayyul, Bid'ah, Syirik dan Churafat) sementara dari sisi otentititas dan validitasnya kurang dapat dipertanggungjawabkan pula karena banyak sekali hadits-hadits yang dijadikan sebagai hujjah sangat lemah kualitasnya bahkan maudlu’ (palsu).

    Umat yang awam hanya mengerti bahwa acara-acara ceremonial semacam itu adalah bagian dari agama yang mereka anggap “wajib” dilakoni dari masa ke masa secara turun-temurun. Terlepas apakah hal itu benar-benar dicontohkan oleh Rasulullah melalui hadits shahih atau tidak. Apalagi bila ditanyakan tentang rujukannya, logika berfikir hanya menjawab bahwa hal itu “Memang dari sononya.” terbiasa dengan “taqlid buta.”

    Selain acara-acara ceremonial tersebut, memang banyak sekali diadakan majlis-majlis ta’lim tetapi amat disayangkan bahwa bobot materinya kurang berimbang. Sangat sedikit -untuk tidak mengatakan hampir tidak pernah- di dalamnya menyentuh sisi ‘aqidah dan bagaimana mereka bisa terlepas dari kesyirikan dan penyakit TBC tersebut. Yang sering disuguhkan “hanyalah” masalah dzikir bersama, dzikir nasional, fadlâ-il ‘amâl (pahala ibadah yang ini sekian dan yang itu sekian) padahal hadits-hadits yang digunakan sebagai hujjahnya sebagian besar dla'if (lemah) bahkan maudlu’.

    Dengan posisi seperti ini, sudah sepatutnya bahkan wajib bagi mereka untuk memberikan pelajaran-pelajaran agama yang benar kepada umat sebab umat yang awam hanya bertaqlid kepada mereka. Mereka harus mengambil dalil-dalilnya dari rujukan yang dapat dipertanggungjawabkan dan valid sebab kelak mereka akan mempertanggungjawabkan hal ini di hadapan Allah Swt.

    Sudah sepantasnya, para ulama meneladani sikap para Imam empat Madzhab yang semuanya sepakat menyatakan keharusan untuk merujuk kepada hadits yang shahih. Imam Abu Hanifah dan Imam asy-Syafi’i mengatakan: “Bila hadits itu shahih, maka itulah madzhabku”. Imam Ahmad berkata: “Janganlah kalian mentaqlidiku, jangan pula mentaqlidi Malik, asy-Syafi'i, al-Awza'i dan ats-Tsawry tetapi ambillah darimana mereka mengambil”. Imam Malik berkata: “Tidak ada seorangpun setelah (wafatnya) Nabi Saw., kecuali pendapatnya diambil atau ditinggalkan kecuali Nabi Saw.” Para Imam ini melarang umat dan pengikutnya mentaqlid mereka secara buta bahkan salah seorang dari mereka, yakni Abu Hanifah amat keras sekali ucapannya, “Haram bagi siapa yang tidak mengetahui dalilku untuk berfatwa dengan ucapanku.”

    Bilamana pemurnian ‘aqidah dari kesyirikan dan penyakit TBC tersebut lebih difokuskan tentu kejahilan umat akan ajaran agamanya akan dapat teratasi dan terkikis sehingga perayaan semacam “Natal Bersama,” “Valentine Days,” “Tahun Baru (Happy New Year)” dan sebagainya tidak akan mampu membuai dan menggoyahkan ‘aqidah mereka.

    Terdapat korelasi yang jelas antara hadits di atas dengan hadits larangan Tasyabbuh (menyerupai) dengan suatu kaum. Dalam hadist diatas, Rasulullah mensinyalir bahwa umat ini akan mengikuti sunnah (tata-cara) orang-orang Yahudi dan Nashrani. Maka, di dalam mengikuti cara mereka tersebut terdapat penyerupaan di dalam banyak hal.

    Dalam hadits Rasulullah banyak sekali larangan agar kita jangan menyerupai suatu kaum, terutama sekali terhadap orang-orang Yahudi dan Nashrani, diantaranya sabda beliau, “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia adalah bagian dari mereka”.

    Imam Al-Munawy dan Al-‘Alqamy mengomentari makna “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, yakni secara zhahirnya dia berpakaian seperti pakaian mereka, mengikuti gaya hidup dan petunjuk mereka di dalam berpakaian serta sebagian perbuatan mereka.”

    Al-Qary mengatakan, “Barangsiapa menjadikan dirinya serupa dengan orang-orang kafir, misalnya di dalam berpakaian dan selainnya atau serupa dengan orang-orang fasiq, Ahli Tasawwuf atau serupa dengan orang-orang yang lurus dan baik, maka dia adalah bagian dari mereka, yakni di dalam mendapatkan dosa atau kebaikan/pahala.”

    Dalam hal ini, tentu saja Fenomena Merayakan Tahun Baru tersebut masuk ke dalam katogeri larangan Tasyabbuh.

    Tidak ada cara lain bagi kita kecuali dengan membentengi diri dengan ‘aqidah yang benar sehingga tidak mudah tergoda oleh hal-hal yang dapat menodai, mengotori apalagi menggoyahkannya. Peranan orang tua pun sangat penting dalam mengarahkan pendidikan agama yang memadai bagi anak-anaknya terutama penekanan sisi ‘aqidah. Tidak hanya menjadi komandan di tengah keluarga namun hendaknya menjadi seorang imam seperti yang pernah disampaikan al-Ustadz Shiddiq Amien dalalm salah satu satu khutbahnya.

    Bagi sebagian orang “Tahun Baru” adalah salah satu momen yang mengingatkan bahwa jatah usia semakin berkurang. Padahal setiap hari pun, setiap jam, menit dan detik jatah usia memang terus berkurang, kematian semakin dekat, tamu terakhir sebentar lagi datang. Sudahkah mempersiapkan diri menghadapinya.

    “Dialah Allah yang menciptakan kematian dan kehidupan agar Dia menguji kamu siapakah yang paling banyak amalnya.” (Qs. Al Mulk [67]:2)

    Waktu adalah kesempatan hidup, kesempatan kita untuk beramal, untuk beribadah karena kita memang diciptakan untuk beribadah (Qs. Adz Dzariyat: 56).

    Untuk urusan bisnis dan kerja, sering orang membuat suatu target pencapaian dan perencanaan yang begitu matang. Namun sudahkah kita membuat suatu perencanaan dan target untuk ibadah.

    “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Qs. Al Hasyr:18)

    Menurut Toto Tasmara, dalam bukunya Kecerdasan Ruhaniah, mengatakan bahwa orang yang menghayati ayat tersebut adalah orang yang mempunyai visi, yang mempunyai gambaran masa depan. “Mereka menjadikan masa lalu sebagai pelajaran yang sangat berharga untuk membuat rencana yang lebih cermat.”

    Sedangkan dalam tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa maksud kalimat “Hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat)” adalah hisablah dirimu sebelum dihisab oleh Allah, dan lihatlah apa yang sudah kamu tabung untuk diri-diri kamu, berupa amal saleh, untuk hari dimana kamu akan kembali dan berhadapan dengan Tuhan kamu.

    Sudahkah kita melihat dan meneliti apa yang telah kita lakukan dan membuat rencana kedepan agar lebih baik. Banyak orang yang menyatakan (terlepas dia seorang yang awam terhadap agama atau mereka yang memang faham akan agama), mereka menyatakan, “Ingat tahun ini harus lebih dari tahun lalu!”

    “Ya Allah! anugerahilah kepada kami kecintaan terhadap iman, dan anugerahilah kami kebencian terhadap kekufuran, kefasikan dan perbuatan maksiat. Jadikanlah kami diantara orang-orang yang mendapat petunjuk dan senantiasa bergesa atas panggilan dan perintah-Mu”.

    Semoga kita semua mendapatkan petunjuk Allah Swt., dan senantiasa dibimbing ke jalan yang diridlai oleh-Nya
resep donat empuk ala dunkin donut resep kue cubit coklat enak dan sederhana resep donat kentang empuk lembut dan enak resep es krim goreng coklat kriuk mudah dan sederhana resep es krim coklat lembut resep bolu karamel panggang sarang semut

0 komentar:

Posting Komentar