Bila
kita mengamati secara seksama realitas yang ada menjelang berakhirnya
setiap tahun Masehi, maka akan kita dapatkan seakan Rasulullah Saw.,
berbicara tentang kondisi kontemporer saat ini. Betapa tidak, hampir
mayoritas umat ini merayakan datangnya Tahun Baru Masehi tersebut persis
dengan apa yang dilakukan oleh pemilik Hari Besa...r tersebut, yaitu
kaum Yahudi. Anehnya, hal ini banyak juga dirayakan oleh kalangan
Nashrani.
Dari Abu Sa’id al-Khudry bahwasanya Nabi Saw.,
bersabda, “Sungguh kalian akan mengikuti sunnah (tata-cara) orang-orang
sebelum kamu, sejengkal-demi sejengkal, sehasta demi sehasta, hingga
andaikata mereka masuk lubang semutpun, niscaya kalian akan memasukinya
juga”. Para shahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah (mereka itu)
orang-orang Yahudi dan Nashrani?”. Beliau bersabda: “Siapa lagi (kalau
bukan mereka)”. (Hr. Al-Bukhari)
Perayaan yang berisi hura-hura,
kemaksiatan dan pemubaziran dilakukan di hampir seluruh pelosok negeri,
tidak oleh kalangan muda-mudi saja tetapi juga oleh orang-orang tua.
Pada tengah malam menjelang pergantian tahun; berpesta pora, lelap dalam
gegap-gempita serta suara hiruk-pikuk musik yang menggila.
Beramai-ramai dalam suasana sesak, saling himpit dan bergaya dengan
berbagai mode yang ada.
Bila melihat nama, sepertinya
memperingati dan merayakan Tahun Baru Masehi identik dengan tahunnya
orang-orang Nashrani saja. Tetapi sebenarnya, perayaan Tahun Baru
tersebut merupakan bagian dari aktifitas ritual agama Yahudi dan Majusi
(yang disebut dengan an-Nayrûz). Oleh karena itu, merekalah yang
sebenarnya memiliki misi merayakan dan memeriahkannya bukan kaum
Nashrani apalagi kaum Muslimin.
Dalam Islam, hanya dikenal tiga
Hari Besar (’Ied) yang memang disyariatkan untuk dirayakan dan
dimeriahkan; dua bersifat tahunan, yaitu ‘Iedul Fithri dan ‘Iedul Adlha
yang belum lama ini kita lalui. Satu lagi, bersifat pekanan, yaitu Hari
Jum’at. Selain tiga Hari Besar ini, tidak dikenal peringatan dan
perayaan hari besar lainnya, apalagi bila perayaan itu identik dengan
agama selain Islam.
Yang menjadi masalah kemudian adalah
keterlibatan sebagian besar dari umat Islam di dalamnya; Kenapa mereka
ikut merayakan dan memeriahkannya juga? Tidak tahukah bahwa perayaan itu
khusus untuk non Muslim, khususnya, kaum Yahudi dan Majusi? Tahukah
bahwa hal ini bertentangan dengan ajaran agama?
Tentu kita amat
prihatin dengan nasib umat yang semakin lama semakin terkikis
‘aqidahnya, sedikit-demi sedikit sebagaimana yang disinyalir di dalam
hadits Nabi di atas.
Setidaknya ada dua faktor besar yang
menyebabkan terjadinya hal tersebut: pertama, kurangnya ilmu sebagian
besar umat Islam akan ajarannya. Kedua, Kurangnya kontrol para ulama,
khususnya penekanan terhadap sisi ‘aqidah.
Proses pembelajaran
selama ini hanya bertumpu kepada acara-acara ceremonial. Rujukan-rujukan
yang digunakan dari sisi materi kurang memberikan tekanan kepada
pemurnian ‘aqidah dari syirik dan penyakit TBC (Takhayyul, Bid'ah,
Syirik dan Churafat) sementara dari sisi otentititas dan validitasnya
kurang dapat dipertanggungjawabkan pula karena banyak sekali
hadits-hadits yang dijadikan sebagai hujjah sangat lemah kualitasnya
bahkan maudlu’ (palsu).
Umat yang awam hanya mengerti bahwa
acara-acara ceremonial semacam itu adalah bagian dari agama yang mereka
anggap “wajib” dilakoni dari masa ke masa secara turun-temurun. Terlepas
apakah hal itu benar-benar dicontohkan oleh Rasulullah melalui hadits
shahih atau tidak. Apalagi bila ditanyakan tentang rujukannya, logika
berfikir hanya menjawab bahwa hal itu “Memang dari sononya.” terbiasa
dengan “taqlid buta.”
Selain acara-acara ceremonial tersebut,
memang banyak sekali diadakan majlis-majlis ta’lim tetapi amat
disayangkan bahwa bobot materinya kurang berimbang. Sangat sedikit
-untuk tidak mengatakan hampir tidak pernah- di dalamnya menyentuh sisi
‘aqidah dan bagaimana mereka bisa terlepas dari kesyirikan dan penyakit
TBC tersebut. Yang sering disuguhkan “hanyalah” masalah dzikir bersama,
dzikir nasional, fadlâ-il ‘amâl (pahala ibadah yang ini sekian dan yang
itu sekian) padahal hadits-hadits yang digunakan sebagai hujjahnya
sebagian besar dla'if (lemah) bahkan maudlu’.
Dengan posisi
seperti ini, sudah sepatutnya bahkan wajib bagi mereka untuk memberikan
pelajaran-pelajaran agama yang benar kepada umat sebab umat yang awam
hanya bertaqlid kepada mereka. Mereka harus mengambil dalil-dalilnya
dari rujukan yang dapat dipertanggungjawabkan dan valid sebab kelak
mereka akan mempertanggungjawabkan hal ini di hadapan Allah Swt.
Sudah
sepantasnya, para ulama meneladani sikap para Imam empat Madzhab yang
semuanya sepakat menyatakan keharusan untuk merujuk kepada hadits yang
shahih. Imam Abu Hanifah dan Imam asy-Syafi’i mengatakan: “Bila hadits
itu shahih, maka itulah madzhabku”. Imam Ahmad berkata: “Janganlah
kalian mentaqlidiku, jangan pula mentaqlidi Malik, asy-Syafi'i,
al-Awza'i dan ats-Tsawry tetapi ambillah darimana mereka mengambil”.
Imam Malik berkata: “Tidak ada seorangpun setelah (wafatnya) Nabi Saw.,
kecuali pendapatnya diambil atau ditinggalkan kecuali Nabi Saw.” Para
Imam ini melarang umat dan pengikutnya mentaqlid mereka secara buta
bahkan salah seorang dari mereka, yakni Abu Hanifah amat keras sekali
ucapannya, “Haram bagi siapa yang tidak mengetahui dalilku untuk
berfatwa dengan ucapanku.”
Bilamana pemurnian ‘aqidah dari
kesyirikan dan penyakit TBC tersebut lebih difokuskan tentu kejahilan
umat akan ajaran agamanya akan dapat teratasi dan terkikis sehingga
perayaan semacam “Natal Bersama,” “Valentine Days,” “Tahun Baru (Happy
New Year)” dan sebagainya tidak akan mampu membuai dan menggoyahkan
‘aqidah mereka.
Terdapat korelasi yang jelas antara hadits di
atas dengan hadits larangan Tasyabbuh (menyerupai) dengan suatu kaum.
Dalam hadist diatas, Rasulullah mensinyalir bahwa umat ini akan
mengikuti sunnah (tata-cara) orang-orang Yahudi dan Nashrani. Maka, di
dalam mengikuti cara mereka tersebut terdapat penyerupaan di dalam
banyak hal.
Dalam hadits Rasulullah banyak sekali larangan agar
kita jangan menyerupai suatu kaum, terutama sekali terhadap orang-orang
Yahudi dan Nashrani, diantaranya sabda beliau, “Barangsiapa yang
menyerupai suatu kaum, maka dia adalah bagian dari mereka”.
Imam
Al-Munawy dan Al-‘Alqamy mengomentari makna “Barangsiapa menyerupai
suatu kaum, yakni secara zhahirnya dia berpakaian seperti pakaian
mereka, mengikuti gaya hidup dan petunjuk mereka di dalam berpakaian
serta sebagian perbuatan mereka.”
Al-Qary mengatakan,
“Barangsiapa menjadikan dirinya serupa dengan orang-orang kafir,
misalnya di dalam berpakaian dan selainnya atau serupa dengan
orang-orang fasiq, Ahli Tasawwuf atau serupa dengan orang-orang yang
lurus dan baik, maka dia adalah bagian dari mereka, yakni di dalam
mendapatkan dosa atau kebaikan/pahala.”
Dalam hal ini, tentu saja Fenomena Merayakan Tahun Baru tersebut masuk ke dalam katogeri larangan Tasyabbuh.
Tidak
ada cara lain bagi kita kecuali dengan membentengi diri dengan ‘aqidah
yang benar sehingga tidak mudah tergoda oleh hal-hal yang dapat menodai,
mengotori apalagi menggoyahkannya. Peranan orang tua pun sangat penting
dalam mengarahkan pendidikan agama yang memadai bagi anak-anaknya
terutama penekanan sisi ‘aqidah. Tidak hanya menjadi komandan di tengah
keluarga namun hendaknya menjadi seorang imam seperti yang pernah
disampaikan al-Ustadz Shiddiq Amien dalalm salah satu satu khutbahnya.
Bagi
sebagian orang “Tahun Baru” adalah salah satu momen yang mengingatkan
bahwa jatah usia semakin berkurang. Padahal setiap hari pun, setiap jam,
menit dan detik jatah usia memang terus berkurang, kematian semakin
dekat, tamu terakhir sebentar lagi datang. Sudahkah mempersiapkan diri
menghadapinya.
“Dialah Allah yang menciptakan kematian dan
kehidupan agar Dia menguji kamu siapakah yang paling banyak amalnya.”
(Qs. Al Mulk [67]:2)
Waktu adalah kesempatan hidup, kesempatan
kita untuk beramal, untuk beribadah karena kita memang diciptakan untuk
beribadah (Qs. Adz Dzariyat: 56).
Untuk urusan bisnis dan kerja,
sering orang membuat suatu target pencapaian dan perencanaan yang begitu
matang. Namun sudahkah kita membuat suatu perencanaan dan target untuk
ibadah.
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah
dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya
untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Qs. Al Hasyr:18)
Menurut
Toto Tasmara, dalam bukunya Kecerdasan Ruhaniah, mengatakan bahwa orang
yang menghayati ayat tersebut adalah orang yang mempunyai visi, yang
mempunyai gambaran masa depan. “Mereka menjadikan masa lalu sebagai
pelajaran yang sangat berharga untuk membuat rencana yang lebih cermat.”
Sedangkan
dalam tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa maksud kalimat “Hendaklah
setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok
(akhirat)” adalah hisablah dirimu sebelum dihisab oleh Allah, dan
lihatlah apa yang sudah kamu tabung untuk diri-diri kamu, berupa amal
saleh, untuk hari dimana kamu akan kembali dan berhadapan dengan Tuhan
kamu.
Sudahkah kita melihat dan meneliti apa yang telah kita
lakukan dan membuat rencana kedepan agar lebih baik. Banyak orang yang
menyatakan (terlepas dia seorang yang awam terhadap agama atau mereka
yang memang faham akan agama), mereka menyatakan, “Ingat tahun ini harus
lebih dari tahun lalu!”
“Ya Allah! anugerahilah kepada kami
kecintaan terhadap iman, dan anugerahilah kami kebencian terhadap
kekufuran, kefasikan dan perbuatan maksiat. Jadikanlah kami diantara
orang-orang yang mendapat petunjuk dan senantiasa bergesa atas panggilan
dan perintah-Mu”.
Semoga kita semua mendapatkan petunjuk Allah Swt., dan senantiasa dibimbing ke jalan yang diridlai oleh-Nya
0 komentar:
Posting Komentar